Lauh Mahfud: Jembatan dalam Menyikapi Fenomena Gempa

Kebanyakan kita memahami gempa sebagai ‘karya Tuhan’ yang mengandung tiga kemungkinan makna : (a) cobaan atau ujian, (b) teguran atau peringatan, dan (c) azab atau hukuman. Sesaat setelah gempa meluluh-lantakkan manusia, biasanya ramai-rama kita mengajukan pertanyaan introspektif: Apa salah dan dosa yang sudah kita perbuat, sehingga Allah murka? Apakah penguasa, orang-orang kaya dan sistem di negeri ini yang telah kufur dari ketentuan-Nya? Atau, apakah ini hanya pertanda kasih sayang-Nya kepada kita?

Tanggapan lain, dan saya kira cukup menarik, datang dari kalangan intelektual: ahli geologi dan kegempaan. Mereka menilai bahwa gempa adalah proses alam ‘biasa’, yang dipicu oleh pergerakan lempeng bumi.  Gempa terjadi jauh sebelum manusia hadir di muka bumi ini. Sejak jutaan, atau bahkan milyaran tahun silam, gempa sudah ‘mewarnai’ hari-hari di bumi. Ia menjadi bencana manakala bersentuhan dengan manusia. Artinya, secara saintifik, gempa pada dasarnya tak ada kaitannya dengan perilaku manusia. Beda halnya dengan banjir atau longsor, yang memang bisa disebabkan oleh penggundulan hutan dan sebagainya.

Jadi, makna saintifik dalam menyikapi gempa ini kurang lebih: hendaknya manusia memahami perilaku alam dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya. Terlebih bagi kita yang hidup di Indonesia, yang bagian selatan dan timur jauhnya dibatasi jalur gempa aktif.

Sebagai seorang muslim sekaligus geologist, terus terang tidak mudah bagi saya untuk mengambil satu sikap saja. Bahwa suatu bencana tak ada kaitannya dengan ulah manusia, itu cukup sulit diterima oleh logika keimanan. Kita tahu bahwa yang direnggut adalah nyawa-nyawa manusia. Kita juga tahu bahwa dalam kisah-kisah umat terdahulu yang diceritakan Al-Quran, Allah mengazab manusia dengan fenomena alam yang sesungguhnya “sangat biasa” secara saintifik. Misalnya letusan gunung api yang membinasakan kaum Nabi Luth.

Di sisi lain, bahwa perbuatan dosa manusia mampu menggerakkan lempeng-lempeng bumi, juga sangat sulit dibuktikan secara ilmiah. Bahwa keingkaran manusia dalam menyembah Tuhannya, dapat mematahkan kulit bumi yang rigid dan brittle, juga sulit diterima akal sehat. Bahwa gelombang gempa adalah sebentuk ganjaran atau sinyal peringatan Tuhan, juga sulit dikorelasikan oleh persamaan matematis paling canggih sekalipun

Lantas di mana benang merahnya? Dari situlah saya berpikir bahwa pasti ada semacam “payung hukum” yang lebih besar, yang mampu melampaui hukum kauniah (hukum alam) dan hukum kauliyah (hukum yang tertulis dalam ajaran agama). Allah, Tuhan Yang Maha Luas Pengetahuannya, pasti memiliki skenario yang sangat halus, jauh dari jangkauan kemampuan manusia dalam menyusun persamaan-persamaan, uji-uji laboratorium, filsafat-filsafat teologis atau ephistimologis, dan sebagainya. Lauh Mahfud, kitab yang Allah tulis sebelum segala-sesuatu diciptakan, mungkin adalah jawaban dari “payung hukum” itu.

Gempa memang fenomena alam “biasa”, tetapi bukankah ia terjadi melalui mekanisme yang ditetapkan Tuhan? Bukankah kulit bumi ini patah, bergetar, dan meluluh lantakkan segala sesuatu, juga atas ijin-Nya? Bukankah tak ada satu pun nyawa melayang di bumi ini di luar kehendak-Nya? Bukankah Tuhan dengan mudah menentukan belahan bumi mana yang patah dan seberapa besar energi pelentingannya? Bukankah kita tidak pernah tahu tujuan Tuhan sesungguhnya dalam ‘menyuguhkan’ bencana kepada manusia?

Dari beberapa pertanyaan itulah kemudian saya berpikir, bahwa dikotomi antara sikap “ilmiah” dan “religius” dalam menyikapi bencana tidak lagi relevan, karena semuanya berujung pada satu titik: Kehendak Allah. Dan Dia sudah menuliskan segala sesuatunya di dalam Lauh Mahfud.

32 komentar di “Lauh Mahfud: Jembatan dalam Menyikapi Fenomena Gempa

  1. berusaha terus berprasangka baik pada ketetapan Allah SWT sambil berusaha mencari cara agar musibah gempa tak lagi memakan banyak korban.. misal dgn pembangunan rumah yang aman thd gempa dan lokasi pemukiman warga yg rawan longsor sebaiknya dipindahkan..

  2. Betul….Kalo bencana dilihat dari segi ilmiah..manusia takkan sadar..
    Tetapi dipandang dari religius…”Kehendak Allah”
    Setidaknya gemetar hati ini..
    Nice posting..
    Good…

    • Betul itu mas… Jalur gempa aktif pada umumnya terletak di zona subduksi, yang biasanya akan membentuk jalur gunung api. Tanah di sekitar gunung api memang subur. Itulah karunia Allah bagi bangsa ini yang harus kita syukuri…

  3. tentu kita melihatnya dari dua sisi.. kenyataan bahwa gempa adalah fenomena alam yang ada kaitannya dengan lempeng bumi (kira2 begitu) dan tentu saja sebagai musibah/ujian/teguran dari Allah.. yang bisa dilakukan sebagai manusia yang punya akal, tentu saja mencari tahu ttg gempa itu dan melakukan sesuatu agar korban gempa dapat diminimalisir dan sebagai hamba Allah, yang bisa kita lakukan adalah mengambil hikmah dari musibah itu denga tetap berbaik sangka padaNya..

  4. tanggapan tentang gempa dan bencana alam lainnya bisa diartikan dari sudut manapun yang jelas itu merupakan firman Tuhan yang nyata adanya dan Tuhan pun ingin supaya manusia membaca dengan sebenar benarnya …bagi orang orang yang berakal, mungkin saja dalam sudut pandang religi bahwa manusia sekarang ini hanya mampu mengenal Al Qur’an hanya dengan bunyi bunyian saja selebihnya nggak tahu karena keterbatasan pengetahuan mereka, makanya didalam al-Qur’an pertamakali surat diwahyukan hai …bacalah….Bacalah supaya engkau tahu akan kebesaranku….(Tuhan).
    Mari kita berfikir secara kafah melingkar toh pada dasarnya bahwa kita tidak bisa terfokus pada hanya gempa saja namun bencana bencana yang lainnya seperti longsor dll. So jangan negatip thingking ma gusti Allah bahwa itu adalah adzab dll, Tuhan punya kuasa dan punya rencana yang lebih baik untuk umatnya. bencana sebagai bentuk cinta kasih kepada hamba hambanya (Bismillahirahmanirahim) supaya manusia sadar sesadar sadarnya.

  5. SETUJU.. dan JEMBATAN ITU PULA yang akan MENGHANCURKAN dan MENGEMBALIKAN umat yang TERSISA dalam satu KEBANGKITAN HATI NURANI.. ma kasih baru saya mengerti makna Jembatan yang saya lihat tahun 2004 kemaren..
    salam sayang

  6. Jalan satu satunya..

    RAIHLAH “JATI DIRI MANUSIA”.. untuk

    MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA

    Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat Sahabatku terchayaaaaaank
    I Love U fullllllllllllllllllllllllllllllll

  7. Memang adalah suatu yang mewarnai hari” kita dibumi.
    Tapi ada yg getarannya terasa ada juga yg tidak.
    Smoga kita bisa menanggapinya dengan lebih bijak.

    Anak baru mw ikutan niyh!!

  8. untuk mensikapi masalah gempa bisa dari berbagai sudut pandang, mungkin dari sudut pandang geologi itu cuma penomena alam biasa, tetapi kalu kita mau melihat dari sudut pandang agama jelas ini adalah kehendak Allah,, sebagai mana firmanNya bahwa semua yang ada di alam ini bertasbih kepadaNya, dan bertasbih kepadanya bisa diartikan patuh dan tunduk kepada perintahNya. kalau alam di suruh bergerak dan menimbulkan gempa itu adalah kepatuhan alam

  9. makna adalah hikmah, sedangkan hikmah adalah pelajaran dari Tuhan, jadi menurut saya kata yang lebih baik selain “mengais” adalah “mempelajari/merenungi” yang dengan begitu berarti kita mengakui bahwa diri ini masih sangat kekurangan ilmu, bukannya mengais sesuatu yang sudah menjadi sisa-sisa

Tinggalkan komentar