Andai Aku Menjadi Ketua KPK

Andai aku menjadi ketua KPK, aku akan fokus mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pelaporan tindak pidana korupsi, khususnya kasus-kasus kecil namun bisa jadi sangat banyak jumlahnya.

Kita tahu bahwa jumlah pegawai KPK saat ini tidak sampai 1000 orang. Jumlah yang sedikit ini harus mengawasi penyelenggara negara yang mencapai lebih dari 2 juta orang. Luasnya rentang kendali pengawasan, dari Sabang sampai Merauke, juga cukup menyulitkan tugas KPK.

Kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah 1 milyar, ratusan juta, atau bahkan “hanya” puluhan juta, jika diakumulasikan, bisa jadi tidak kalah besar jumlahnya dengan kasus mega-skandal korupsi seperti Hambalang, simulator SIM, atau bahkan Century. Misalnya, jika ada 1000 kasus korupsi yang melibatkan kerugian negara masing-masing Rp 100 juta,  jumlahnya bisa mencapai Rp 100 milyar. Besar sekali. Namun, hampir bisa dipastikan bahwa kasus-kasus kecil semacam ini tidak akan tersentuh KPK, karena skalanya yang relatif kecil.

Karena itu, untuk mengawasinya, kita perlu memaksimalkan partisipasi masyarakat. Untuk pelaporan kasus korupsi yang “kecil-kecil tapi banyak” ini, KPK bisa bekerjasama dengan media-media cetak, baik lokal maupun nasional, untuk menyediakan satu ruang khusus: “Kolom pelaporan indikasi korupsi”, serupa iklan baris-kolom. Kolom ini bisa ditampilkan minimal seminggu sekali, sebanyak setengah sampai satu halaman koran. Tentu saja, pihak yang dilaporkan oleh “iklan” itu bisa membantah atau melakukan klarifikasi di media yang sama.

Pengumuman di media ini diharapkan menjadi semacam “hukuman” bagi siapa pun yang terindikasi melakukan korupsi “kecil-kecil” itu.

Berapa dana yang dibutuhkan untuk program ini? Jika setiap minggu ada 50 media cetak yang memuat masing-masing 100 kasus kecil selama 52 minggu dalam setahun, maka biayanya sekitar Rp 13 milyar setahun. Dengan dana sebesar itu, akan ada 260.000 kasus indikasi korupsi yang dilaporkan. Sumber dananya bisa berasal dari uang negara yang sudah dikembalikan oleh para koruptor yang tertangkap, sebagian dialokasikan untuk program pengawasan dan pelaporan kasus korupsi oleh masyarakat di seluruh pelosok negeri.

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/620/Casdira.html

15 komentar di “Andai Aku Menjadi Ketua KPK

  1. nice opinion. agreed with whistle blowing system, kadang karena di indonesia ada asumsi praduga tak bersalah, maka pemuatan di media dikhawatirkan justru akan menjadi tuntutan balik bagi si pelapor IMO

    • Betul pak, memang sifat iklan itu hanya “indikasi korupsi”, dan perlu dibuat aturannya terlebih dahulu, bahwa jika “iklan” itu tidak benar, bisa diklarifikasi langsung di media yg sama. Tentu, pd praktiknya, utk kasus2 kecil semacam itu, pelakunya pun akan sulit membayar pengacara dan beracara di pengalihan (utk menuntut balik dsb). Toh, hasil korupsinya tak seberapa. Bisa minus.. 🙂
      Di luar itu, tentu ada mekanisme perlindungan saksi. Ketika ide “ngawur” ini diterapkan, KPK harus melindungi si pelapor.

  2. setuju, kl ada perlindungan akan lebih aman utk si pelapor. nice artikel saya suka bacanya jd membayangkan kl kita jd ketua KPK hehe, salam kenal n semoga menang ya di lombanya mas 😀

  3. Tulisan-tulisan seperti ini memberi harapan bahwa masih ada yang berfikir tentang pemberantasan korupsi di indonesia.
    Menurutku memulai pendidikan anti korupsi harus sejak dini, bagaimana membuat malu anak-anak kita kelak kalau mereka ingin korupsi, sayangnya di TV yang mereka lihat malah para tersangka koruptor senyam-senyum aja tuh… 😥

Tinggalkan komentar