Added Value

Mengingat sosok dan pemikiran Pak Habibie, ada dua kata yang paling melekat dalam benak saya, yaitu “added value“, atau “nilai tambah”. Karena itu, saya secara pribadi menjuluki beliau sebagai the man of added value, atau manusia yang berorientasi pada “nilai tambah”.

Secara sederhana, added value dapat kita artikan sebagai “nilai” yang kita tambahkan ke dalam satu barang, atau materi, atau jasa, atau bahkan manusia. Sebagai contoh, jika kita jual singkong 1 kg, (anggap) harganya hanya seribu rupiah. Tetapi jika singkong itu dijadikan kripik, maka harganya bisa  menjadi (katakanlah) 5 ribu rupiah. Artinya, kita telah menambahkan nilai 4 ribu rupiah pada 1 kg singkong. Nilai singkong menjadi 5 kali lipat!

Dengan menggunakan analogi yang sama, maka sebuah mobil telah mengalami penambahan nilai sekitar 45 kali lipat dari harga “bahan-bahan mentah” penyusun mobil itu sendiri: besi, alumunium, silikon, tembaga, plastik, dan sebagainya. Mesin pesawat telah mengalami penambahan nilai sekitar 8.250 kali lipat; superkomputer sekitar 15.580 kali lipat; jet tempur sekitar 22.900 kali lipat; dan satelit sekitar 183.000 kali lipat!

Tentu, dalam melakukan proses “nilai tambah”, ada “biaya tambah”, atau added cost. Menambah nilai singkong menjadi 5 kali lipat tidak gratis. Butuh minyak goreng, minyak tanah atau gas untuk bahan bakar, dan peralatan memasak. Tugas kita, menurut pemikiran Pak Habibie, adalah bagaimana memaksimalkan added value dan meminimalkan added cost.

Prinsip sederhana ini, jika kita kaji, sebenarnya cukup mendalam. Jika kita telisik bagaimana negara-negara maju membangun negaranya, sebetulnya tidak lebih dari konsep “nilai tambah” ini. Jepang, negara “kecil” dan miskin sumberdaya alam, menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia, karena mereka berhasil melakukan proses added value. Logam dan semua barang mentah yang mereka impor dari negara-negara berkembang, mereka “sulap” menjadi Toyota Alphard atau Crown, Honda Jazz, Kawasaki Ninja, Sharp, Sony, dan sebagainya. Mereka menciptakan ribuan kali lipat nilai suatu barang, dan hasilnya mereka nikmati dalam bentuk kemakmuran dan standar hidup yang terus meningkat.

Jerman punya cerita serupa. Kita tentu tahu, bagaimana mereka “menyulap” besi-besi, logam dan material non logam lainnya menjadi Mercedes, BMW atau Audi yang super nyaman. Mereka hidup makmur, akibat proses penciptaan nilai yang mereka lakukan. Bukan saja keuntungan langsung dari penjualan mobil, melainkan multiplier effect-nya terhadap ekonomi-industri di negaranya. Amerika pun sama, bahkan lebih ‘gila’.

Kita akan menemukan cerita yang berkebalikan pada negara-negara miskin dan berkembang. Mereka lebih happy menjual bijih besi, timah, bahkan emas, minyak, batubara, kayu-kayu hasil penggundulan hutan, hasil pertanian dan perkebunan mereka, serta hasil laut, dalam bentuk “mentah”. Mereka sedikit sekali melakukan proses added value, sehingga ekonomi-industri tidak berkembang di negaranya. Akibatnya, mereka tidak banyak menikmati kemakmuran dan peningkatan standar hidup.

Agar proses added value pada barang (baca: kekayaan alam Indonesia) ini bisa berjalan, maka sedikitnya dua faktor yang harus dimiliki. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ke dua, manusia Indonesia sendiri harus melalui proses added value. Nilai manusia, setidaknya dalam konteks bahasan ini, terletak pada ilmu, keterampilan, wawasan, budaya, etos kerja, serta moral. Karena itu, Pak Habibie juga sangat konsen bagaimana membangun added value pada manusia Indonesia, melalui program pendidikan, riset dan pelatihan, dan sebagainya. Karena itu dapat dipahami, mengapa beliau mengirimkan banyak sekali mahasiswa program master dan doktoral ke pusat-pusat perkembangan sains dan teknologi dunia, tahun 1980-an yang lalu.

Kita tahu, IPTN, PT Pindad, PT PAL, dan sederet industri dan lembaga strategis lainnya, adalah hasil proses panjang yang dirintis oleh beliau, untuk meningkatkan added value bangsa ini. Mereka siap “menyulap” barang-barang mentah bernilai relatif rendah menjadi pesawat N-250, kapal laut atau senjata, atau produk-produk teknologi lainnya. Selain hardware berupa institusi dan teknologi yang dimilikinya, beliau juga telah menyiapkan software berupa strategi “mulai dari yang akhir, dan berakhir pada yang awal”: sebuah strategi brilian untuk percepatan proses alih teknologi dari negara maju, guna membangun 9 wahana industri strategis di nusantara.

Dari sudut pandang kolektif bangsa kita pada masanya, pemikiran beliau terlampau maju. Karena itu, apa yang beliau lakukan banyak dipertanyakan orang: apa gunanya bikin pesawat, di saat orang masih makan singkong? Untuk apa teknologi canggih? Ditambah “tekanan” dari IMF, akhirnya langkah Pak Habibie terhenti. Dalam satu kesempatan, bahkan beliau bilang: “Saya ditikam”.

Saat ini, kita semua menyaksikan, betapa banyak pesawat yang mengangkasa di Indonesia, dan begitu pesatnya industri penerbangan tanah air. Yang lebih mencolok, betapa teknologi informasi dan komunikasi, yang notabene teknologi canggih, tengah membanjiri kepulauan nusantara. Sayangnya, kita harus membeli semua itu dari orang lain. 

Kita bukan saja kehilangan benefit dari penjualan pesawat, kapal, senjata, produk-produk teknologi canggih, dan semua industri turunannya, melainkan kehilangan momentum untuk bangkit sejajar dengan negara-negara maju, dalam proses penciptaan added value di semua bidang. Kita telah mundur setidaknya 30 – 40 tahun ke belakang, di saat negara lain melesat jauh dengan teknologinya. Mereka, negara-negara maju, dipastikan akan terus menikmati kemakmuran dan standar hidup yang tinggi, akibat proses penciptaan nilai tambah yang terus mereka lakukan. Sementara kita hanya mengandalkan ‘periuk’ kemakmuran kita dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, akibat minimnya nilai tambah pada kekayaan SDA kita yang sudah semakin menipis.

37 komentar di “Added Value

  1. (Maaf) izin mengamankan KEDUAX dulu. Boleh, kan?!
    Yups, setuju sekali. Dulu beliau dicercar untuk apa mengembangkan teknologi canggih yang bangsa ini belum membutuhkan. Tapi nyatanya sekarang, kemajuan teknologi itu begitu pesatnya. Akibatnya negara2 lain mampu memberi ‘added value’, tapi kita??. Sekedar jadi konsumennya.

    • Begitulah kang alam… tarik-menarik kepentingan, meruntuhkan semua yang sudah dirintis dari nol. Kalau boleh saya bilang: “terhentinya langkah Pak Habibie adalah kebodohan kolektif kita sebagai bangsa..”.

  2. Sayang negara kita lebih mementingkan ahli bicara dibandingkan dengan ahli pengetahuan, mementingkan ahli komentar dibandingkan ahli komputer, dan mementingkan ahli publik dibandingkan ahli politik. Pak Habibie sudah milik dunia, Sri Mulyani sudah milik dunia, tapi Indonesia sendiri tidak merasa memiliki,….

    • Ya. Indonesia dipimpin oleh, meminjam istilah Iwan Fals, “kumpulan teman-teman dekat”, bukan orang-orang terbaik di bidangnya.. karena itu, yang bukan “teman dekat”, cepat atau lambat, pasti akan tersingkir. Kecuali mereka yang kesulitan bilang: “tidak!”.

  3. Hmmm..ternyata figur yang satu ini nggak pernah mati untuk jadi sumber inspirasi bagi siapapun, entah itu dari skill otaknya, kesederhaannya, kesetiaannya sebagai pria yang mencintai pasangannya, atau teladannya sebagai salah satu “permata” yang pernah di miliki bangsa ini sebagai sosok pemimpin yang cerdas

  4. jadi teringat baca artikel ini kang: http://nasional.kompas.com/read/2010/06/16/05295835/Teknologi…SBY..dan.Obama
    http://www.dapunta.com/membuka-kotak-hitam-teknologi.html

    Teknologi berkaitan erat dengan faktor politik, sosial, budaya, ekonomi. oh ya satu lagi, dalam pandangan ekonomi nilai tambah bisa jadi sedikit menyerempet ke paham kapitalisme, cina sekarang sudah merambah. Namun apabila ditelisik secara filosofi peradaban bisa dibilang menjadi lebih maju.

    • Betul kang, teknologi akan mengakselerasi perkembangan sektor lainnya, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi.

      Ada pun inti kapitalisme, setidaknya yang saya pahami, bukan terletak pada added value, melainkan pada modal (kapital). Paham kapitalisme sangat mendewakan kekuatan modal untuk menggerakkan roda kehidupan ini. Kapitalisme akan berupaya memberikan ruang seluas mungkin bagi kepentingan pergerakan modal. Karena itu, sekat-sekat regulasi dan kekuasaan negara yang mengekang pergerakan modal diupayakan seminimal mungkin. Dengan modal pula, mereka akan memegang kekuasaan dan kendali.

      Memang, modal (kapital) dalam hal ini menjadi salah satu faktor yang menunjang terciptanya added value, di samping IPTEK dan sumberdaya manusia. Tapi patut kita catat, bahwa tujuan pokok pembangunan ekonomi adalah terciptanya kemakmuran. Kemakmuran akan terjadi jika, dan hanya jika, nilai tambah perekonomian tinggi. Wallahu a’lam.

  5. Maksudku kang, teknologi berkaitan erat dengan faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, terhadap kegagalan pak habibie ketika itu. Itulah sebabnya saya semakin yakin dengan Dilema determinisme. Karena itu amat disayangkan peradaban bangsa kita menjadi mundur….tepatnya, klo kang dira bilang: “terhentinya langkah Pak Habibie adalah kebodohan kolektif kita sebagai bangsa..”,itu juga tidak salah, malahan salah satu faktor yang tepat,….

    maaf koment dua kali kang

  6. .eks {
    color: #F00;
    }
    .add {
    color: #F00;
    }

    kata inilah yang di Islam dikenal sebagai kata barokah…
    Di Islam sendiri sangat ditekankan kepada seluruh manusia untuk memberikan ADD VALUE alias barokah pada hal yang jauh lebih penting ketimbang bijih besi, minyak bumi maupun yang lainnya….

    W A K T U….

    (1) Demi masa.
    (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
    (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(Q.S.Al-‘Asr 1-3)
    BTW…lebih dari 2 tahun saya Gak main ternyata wow…
    Tambah keren j blog nya Mas….Salut banget dengan konsistensi mas dalam blogging….
    Tambahan,
    Pertamax, Ganti Link Ekaraharja dengan Link saya sekarang http://raharjacyber.net, saya udah punya rumah baru neh ceritanya…wkwkwkwkw….
    Keduax, Kalau dilihat dari metadatanya, 68% lebih Artikel Ini mencerahkan banget (wkwkww…)
     

  7. Wah, saya jadi merinding kalau lihat foto pak habibie,…habis memang beliau faforit saya sih,oranngnya pintar, negarawan, selalu senyum, dan bola matanya itu yang menampakkan kejeniusannya. sayang orang-orang pintar di indonesia saat ini masih dikalahkan dengan orang-orang yang sok pintar, tetapi tidak pernah berbuat apapun untuk negara kecuali komentar. Memang saat mendirikan partai seolah mau memajukan negara, begitu dapat jabatan lupa, selepas tidak punya jabatan, tenggelam, dan itu banyak banget,…tapi sedikitpun tidak ada karya nyata yang diberikan ke negara kecuali hanya pamer.

    • Pak Habibie memang bukan hanya idola anak-anak sekolah jaman Orde Baru, tetapi pantas diidolakan oleh manusia Indonesia mana pun, kecuali bagi mereka yg berbenturan kepentingan dengan beliau.

  8. artikel yang mudah dipahami, dan isinya pun sangat inspiratif…
    membuat kita sadar bahwa indonesia sangat membutuhkan seseorang seperti habibie dan juga istrinya.. krn Habibie tanpa istrinya tak bisa sepenuhnya menjadi sosok yang inspiratif seperti sekarang…
    like this article… 🙂 🙂

  9. terus terang, sy ngefans sm almarhumah ibu ainun habibi..
    Waktu beliau meninggal pun sy ikutan sedih dan merasa kehilangan… 🙂 🙂

  10. sy sy kehilangan sekali dg sosok ini. pak Habibie..
    seharusnya saat ini Indonesia sudah memiliki teknologi HP, Jet, Pesawat Tempur, Jembatan penghubung antar pulau, dan PLTN. 😦

    😦

  11. “A leader in well testing and early production facilities for the oil & gas industry”

    As a group company with world-class capabilities in well testing and fluid, our top priority is to offer the best service for business-based energy and resources in Indonesia. Dwipa Group was established as a company providing Non Destructive Testing for the oil and gas industry. We believe that through commitment, determination and passion for growth, opportunities are endless.

Tinggalkan komentar