Empati

Sebagai makhluk sosial, yang setiap hari bergaul dengan begitu banyak orang, kita mungkin sering mengalami konflik dengan orang lain. Kebanyakan konflik itu muncul akibat ketidakmampuan kita mengelola hubungan antar pribadi.

Ini berlaku dalam berbagai level kehidupan: keluarga, organisasi, perusahaan, masyarakat, bahkan negara. Skala konfliknya pun bisa bervariasi: mulai dari perbedaan pendapat, perdebatan, pertentangan prinsip atau ideologi, sengketa, bahkan peperangan.

Sebab-sebab tiap permasalahan itu bisa jadi sangat spesifik. Sebab yang sama, bisa menimbulkan akibat yang berbeda. Namun, jika ditelusuri hingga ke dasarnya, seringkali kita menjumpai bahwa konflik itu mulanya hanya dua onggokan yang sederhana: ego bertemu ego. Ya, soal ke-aku-an! Ego di sini bisa berarti ego perorangan, bisa juga ego kelompok.

Jika dibandingkan dengan fisik-biologis, ego manusia barangkali jauh lebih membutuhkan “nutrisi”. Nutrisi  itu bisa berupa: penghargaan, pengakuan, juga kebutuhan untuk dipahami, untuk disetujui, bahkan untuk ditinggikan.

Kita pada dasarnya ingin mendengarkan pendapat baik dari orang lain tentang diri kita, pandangan kita, gagasan kita, dan prestasi kita. Sebaliknya: kita begitu khawatir terhadap penilaian negatif orang lain. Kita tidak suka didebat, dibantah. Apalagi dilecehkan, direndahkan. Semakin lemah kualitas pribadi seseorang, semakin tipis selaput ego-nya. Sedikit saja digores, bisa terluka. Ego yang terluka ini dampaknya bisa tak terbayangkan. Seorang raja yang terlukai egonya, bisa berbuntut perang.

Untuk mengatasi kerapuhan ego ini, kita membutuhkan rasa aman internal yang kuat. Kita membutuhkan keyakinan mendasar: bahwa pada dasarnya nilai diri kita tidak tergantung pada penilaian orang lain. Nilai diri kita sepenuhnya didasarkan pada motif-motif tersembunyi yang ada di hati kita, juga tindakan-tindakan terpuji yang kita lakukan. Nilai diri kita ada pada integritas kita, juga keberpihakan kita pada nilai-nilai kebaikan.

Kita membutuhkan karakter proaktif, tidak reaktif. Kita lah yang mengendalikan hidup kita, pemikiran kita, tindakan kita, bahkan perasaan kita. Tidak ada seorang pun yang bisa menyakiti hati kita, kecuali kita mengijinkannya.

Apa pun bentuk perlakuan orang pada kita, kita pada dasarnya memiliki kebebasan untuk menentukan respon kita kepada orang lain.

Namun demikian, tidak semua dari kita memiliki karakter atau kualitas pribadi yang sudah sampai pada tahap itu. Banyak dari kita yang masih lemah – barangkali termasuk saya sendiri. Selaput ego kita masih begitu tipis, sehingga mudah dilukai orang.

Kita bukan sosok Nabi yang, ketika diusir dan dilempari batu oleh Kaum Thaif, malah mendoakan kebaikan untuk mereka dan keturunannya. Kita juga mungkin belum selevel Nelson Mandela yang membalas perlakuan keji apartheid dengan ‘pengampunan kepada dunia’ yang malah membuatnya menjadi presiden yang begitu diagungkan.

Pada titik ini, kita membutuhkan empati dari orang lain. Kita ingin orang lain menghargai diri kita. Kita ingin pendapat kita didengar. Kita ingin mereka mengakui prestasi-prestasi kita, kemampuan kita, juga kebaikan-kebaikan kita.

Kita ingin, ketika kita ditimpa masalah, orang lain mau mendengarkan kita. Kita ingin, ketika sedang mengemukakan gagasan, orang lain tidak menyerang gagasan kita, tetapi malah memberikan applause.

Karena itu, penting bagi kita untuk menanamkan hal ini: apa pun kondisi orang lain, hargailah. Hargailah dia sebagai pribadi ciptaan Tuhan yang unik.

Tak jadi soal, apakah anda setuju atau kontra terhadap pendapat-pendapatnya, terhadap pendiriannya, terhadap prilakunya, terhadap prinsip hidupnya. Kita hanya perlu menghargainya. Kita hanya perlu mendengarkan dan memahami posisinya, tanpa harus meng-iya-kannya. Kita hanya perlu berempati, untuk memberikan nutrisi bagi egonya, bagi nilai-nilai dirinya.

Ajaibnya, ketika kita berempati pada orang lain, justeru mereka akan memberikan respon yang sama baiknya kepada kita. Ya, mereka juga akan menghargai kita. Dengan berempati, kita menguatkan orang lain. Orang yang kuat, cenderung memiliki rasa aman internal yang kuat pula. Dan itu akan membuatnya lebih terbuka. Selaput egonya menebal, dan ia mulai tidak mudah dilukai oleh kita.

Ketika nutrisi egonya terpenuhi, dia juga akan balik berempati pada kita.

Sikap empati ini, oleh Stephen Covey, didaulat sebagai salah satu dari tujuh habbit manusia yang sangat efektif. Kebiasaan ini, apabila diterapkan, akan memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan kita – dan orang-orang di sekitar kita.

Bayangkan sebuah komunitas yang dipenuhi sikap empati: masing-masing berusaha mengerti orang lain terlebih dahulu, baru kemudian ingin dimengerti. Bayangkan situasi dimana orang-orang merasa mendapatkan tempat untuk curhat, berbagi, dan merasa aman untuk menunjukkan kelemahan dirinya – tanpa khawatir diserang oleh orang lain. Bayangkan pula ketika anda sedang dirundung masalah, lalu orang-orang di sekeliling anda datang, mendengarkan, dan berusaha memahami permasalahan-permasalahan anda. Bayangkan itu terjadi di lingkungan keluarga, organisasi, atau komunitas pertemanan anda.

Bayangkan pula situasi ini untuk konteks yang lebih besar: dimana orang-orang miskin dan paling lemah merasa dipahami kebutuhannya oleh negara, lalu kebutuhan mereka itu dipenuhi. Pengusaha-pengusaha kecil didengarkan keluhan-keluhannya, lalu dibuatkan kebijakan-kebijakan yang menolong mereka. Kaum minoritas dilindungi hak-hak dasarnya. Aspirasi masyarakat di daerah-daerah tertinggal juga didengarkan, lalu kue pembangunan dibagikan ke sana. Dan seterusnya.

Kadang-kadang, solusi masalah-masalah kompleks itu sederhana: kita hanya perlu mendengarkan dan menghargai mereka…

11 komentar di “Empati

  1. Untuk menjadi sosok yang patut di jadikan teladan itu tidak mudah, meskipun tak sulit untuk di jalani, manusia acap kali lebih mumpuni untuk sekedar menjalankan teori, tapi itulah adanya sifat dan kemauan manusia, tinggal bagaimana cara kita berfikir terhadap suatu efent,

  2. Pass banget nih om kita harus saling berbagi.. Ada yang mau Gorengan?? Ni ane punya’ ni… hehehe.. Biar semangat!!

Tinggalkan komentar