Menguji Gagasan ‘Petroleum Fund’ (1)

Beberapa pekan lalu, seorang kawan memberikan file kumpulan artikel dari salah seorang pejabat teras BPMIGAS. Dari sekitar 40-an artikel, ada satu ide yang menarik perhatian saya, yaitu ide ‘petroleum fund‘.

Pada dasarnya, ide ini berangkat dari keprihatinan akan minimnya data migas, khususnya untuk wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini menjadi krusial, mengingat daerah-daerah eksplorasi migas beberapa tahun belakangan ini mulai gencar merambah ke arah timur.

Sekedar untuk me-refresh, bahwa dari sekitar 60 cekungan sedimen (belakangan diklaim ada 86 cekungan atau lebih) yang diduga mengandung potensi hidrokarbon, baru sekitar 15 di antaranya yang sudah dieksploitasi. Sebagian besar memang ada di wilayah barat – termasuk Kalimantan. Jadi, cadangan minyak kita yang diisukan akan habis dalam waktu 11 tahun itu (sekitar 4 milyar barel), sebetulnya hanya berasal dari sepertiga wilayah kita yang berpotensi mengandung migas.

Masih cukup banyak daerah-daerah frontier yang perlu kita gali potensinya, terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Persoalannya, ketersediaan data-data subsurface di daerah-daerah ini umumnya masih minim. Karena itu muncul pemikiran: mengapa Pemerintah tidak melakukan survey atau akuisisi data-data yang diperlukan oleh investor itu? Pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada pertanyaan berikutnya: dari mana Pemerintah mengalokasikan dana itu?

Di sinilah ide ‘petroleum fund‘ hadir sebagai alternatif. Ini semacam ‘dana abadi’ bagi kepentingan pengelolaan migas nasional. Dana ini diperoleh, utamanya, dari signature bonus yang berasal dari kontraktor migas pada saat penandatanganan kontrak PSC. Sebagai gambaran, satu kontraktor migas bisa memberikan signature bonus 1 – 30 juta US$, bergantung pada besar potensi migas yang ada di wilayah tersebut.

Sejauh ini, dana segar dari kontraktor itu langsung masuk ke rekening Kementerian Keuangan sebagai pendapatan negara. Timbul pemikiran: bagaimana kalau dana ini ‘dikembalikan’ ke industri migas – dalam bentuk kegiatan survey atau akuisisi data-data migas?

Data-data itu jelas dibutuhkan investor untuk melihat sejauhmana potensi migas yang mungkin dikembangkan. Tanpa data-data yang memadai, jangan berharap ada investor yang mau ‘berjudi’ di industri migas, apalagi untuk daerah-daerah yang masih virgin.

Dengan data-data migas yang mencukupi, investor diharapkan mau melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi lebih lanjut di daerah-daerah frontier tersebut. Hal ini pada akhirnya akan berpeluang meningkatkan penemuan cadangan migas, dan dalam jangka menengah – panjang, dapat meningkatkan produksi migas nasional.

Gagasan ini cukup menarik. Saya hanya ingin melengkapi gagasan ini dengan beberapa catatan.

Pertama, dengan adanya petroleum fund, pendapatan Pemerintah dari signature bonus harus direlakan untuk tidak dinikmati secara langsung, demi pencapaian nasional yang jauh lebih besar di masa depan. Ini bisa jadi mengorbankan target-target jangka pendek kementerian, khususnya penerimaan signature bonus. Para pemangku otoritas sektor energi harus bersedia mengubah orientasi target penerimaan ini menjadi target-target investasi di petroelum fund. Tidak ketinggalan, barangkali “Senayan” juga minta dilibatkan dalam pembahasan konsep ini, mengingat keterkaitannya dengan penerimaan negara.

Ke dua, perlu dikaji lebih jauh, siapa instansi yang sebaiknya diberikan kewenangan mengelola dana-dana ini. Dalam situasi sekarang, tentunya kita bisa menunjuk BPMGAS selaku pengendali kegiatan hulu migas. Namun, bagaimana mekanisme administrasi pemerintahannya? Apakah memungkinkan, pendapatan negara yang diperoleh melalui kementerian, tetapi pengelolaannya dipisahkan dari mekanisme APBN – mengingat sifatnya sebagai ‘dana abadi’?

Idealnya, dana-dana ini diterima dan dicatat sebagai penerimaan perusahaan negara: kekayaan negara yang sudah dipisahkan. Tetapi ini menuntut syarat yang fundamental: pengelolaan migas harus diserahkan kembali ke perusahaan negara, atau, untuk menyiasatinya, ‘lebur’ kembali BPMIGAS menjadi bagian dari perusahaan negara. Tentu ini pilihan yang tidak mudah.

Bagaimana pun, sudah waktunya bagi kita untuk memikirkan gagasan ini lebih serius.

36 komentar di “Menguji Gagasan ‘Petroleum Fund’ (1)

    • Saya bisa bilang: ya. Kita perlu investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Belum ada satu pun negara yg bisa mengelola semua SDA-nya sendiri, bahkan negara maju sekalipun. Yang penting, kedaulatan tetap ada di tangan kita.

      • wah, menyedihkan sekali.. saya belum memahami ini, tapi bila melihat kondisi sekarang, dengan banyaknya investor asing yang menguasai bangsa ini, rasanya kita tidak lagi berdaulat secara ekonomi (khususnya di bidang energi). mohon penjelasanya..

    • maaf ikut2an, SDA kita sesuai UUD adalah milik Negara untuk kesejahteraan warga negara sih,
      tapi industri Hulu Migas yg sedang dibicarakan diatas itu perlu biaya besar mbak, puluhan Juta USD dan belum tentu berhasil (so much High risk to deal with) menemukan cadangan Minyak and/or Gas.
      selain itu teknologinya sangat amat Customize sekali,
      untuk menyiasati hal2 diatas bapak2/ibu2 di Government membuat kebijakan fiscal pakai PSC (yang dibuat oleh indonesia dan sekarang dipakai hampir semua negara di dunia lo mbak … bangga kan) yang mengambil tata cara petani yang tanahnya digarap oleh orang lain dan kalau ada hasilnya di bagi sesuai perjanjian, kalau gagal di tanggung penggarap itu)
      maaf kalau saya sok tau dan ikut2an …. salam

  1. Ya, memang asing sudah menguasai banyak kehidupan kita. Sektor energi dan SDA adalah salah satunya. Solusinya tentu bukan hanya bersedih, tetapi bagaimana kita sebagai anak bangsa ikut membenahinya.. 🙂

  2. Salam kenal Pak Dira saya zaki,
    sebelumnya saya message ke fb & yahoo bapak, jadi waktu saya googling tentang “kelebihan menjadi kontraktor migas di malaysia” blog bapak yang https://casdiraku.wordpress.com/category/migas-dan-pertambangan/ muncul di page 1 google.

    saya sedang cari bahan untuk buat skripsi saya tentang perbandingan kebijakan fiskal Indonesia dan Malaysia. Kiranya, apakah bapak berkenan untuk saya wawancarai? mohon untuk memberikan balasan ya.

    maaf jika dirasa lancang karena kirim pesan langsung ke FB & yahoonya 🙂

    Trims

    Zaki

      • Sedikit juga gpp kok pak 😀

        Kira2 pak dira tau gak kenapa Malaysia tuh bisa lebih banyak cadangan minyaknya dari Indonesia, padahal sistem yang digunakan kan sama?

        • Menurut saya, Malaysia jumlah penduduk lebih sedikit daripada indonesia, konsumsinya BBMnya lebih sedikit dibandingkan indonesia. Kalo cadangan indonesia punya banyak bahkan yang belum di eksploitasi.

      • Besarnya cadangan tidak berkaitan langsung dengan sistem (fiskal) yang dipakai. Cadangan adalah soal penemuan dalam kegiatan eksplorasi. Tetapi sistem fiskal yg atraktif bisa menjadi trigger (pemicu) utk kontraktor lebih aktif melakukan kegiatan eksplorasi, sehingga peluang menemukan cadangan migas bisa lebih besar. Bisa jadi, dalam hal ini, Malaysia menyediakan insentif yg lebih menarik bagi kontraktor utk giat melakukan kegiatan eksplorasi.

      • Terus pak, Jika ingin membandingkan kebijakan fiskal yang ada di Malaysia, bagaimana kebijakan fiskal yang di miliki Indonesia saat ini?

      • Pada prinsipnya, Malaysia juga sama, menggunakan sistem PSC (production sharing contract). Sistem ini dulunya Indonesia yg bikin, dan ditiru oleh byk negara di dunia – termasuk Malaysia. Dlm perkembangannya, variasi dari sistem PSC di masing-masing negara memang berbeda. Misalnya di Malaysia, di sana sudah diterapkan mekanisma ‘revenue over cost’, semakin kecil indeks profitability (rasio total revenue/total cost) kontraktor, semakin kecil jg bagian pemerintah Malaysia (melalui Petronas). Ini dianggap skema fiskal yg menarik bagi kontraktor. Di negara asalnya sendiri, Indonesia, sistem PSC masih relatif rigid, dan biasanya bagian kontraktor ditetapkan secara fix di awal kontrak, tdk bergantung pd fluktuasi revenue/cost kontraktor. Ini salah satu contoh saja. Lebih detailnya silahkan tanya pada ahlinya, pemiliki blog yg sudah sy sebutkan di atas.

      • Hmmm…saya udah mulai nanya juga kok pak ke author blog di atas, malah yang pak benny saya udah tanya duluan, cuman mungkin beliau sibuk jadi belum sempet bales email saya lagi 😦

        Terus pertanyaan selanjutnya nih pak, Sebenarnya kalau di Indonesia sendiri Kendala eksplorasi apa saja ya?

        • Kalau saya sederhanakan, ada dua: kendala teknis berupa ketersediaan data dan kendala birokrasi (termasuk regulasi). Bagi kontraktor di wilayah kerja eksisting, sistem fiskal juga barangkali mempengaruhi minat utk eksplorasi di tempat dan kedalaman yg berbeda.

  3. duh saya sendiri bingung mau koment apa..
    sejauh ini yang saya tau SDA kita memang lo di pasar Internasional, tapi parahnya ya kita juga jadi pangsa pasar mereka, padahal bahan dasar dari kita… zzzzzz
    (maaf pandangan orang awam)

    • Ya, dalam rantai suplai global, negara2 berkembang memang memiliki 2 peran: suplai bahan mentah dan pasar bagi produk jadi negara2 maju. Sebagian menyuplai buruh murah jg.

  4. thanks for info nya.
    menurut saya rules of Fiscal PSC kita sudah baik dan bersaing (bisa dibandingkan dengan negara2 pengguna PSC lainnya), memang yang perlu dibenahi adalah peraturan yang terkait, seperti otonomi daerah yang sudah kebablasan, Lingkungan Hidup (sangat perlu sih), Azas Cabotage, PBI transaksi Valas baru dll agak menghambat kegiatan operasional Migas tuh sepertinya, padahal katanya industri hulu migas itu Lex Specialist??? hhhmmmm thanks for infonya pak, salam.

  5. Nah lho ak beneran mampir kan he.. Masih aktif nulis ya, mantab. Untuk yg petroleum fund ini saya cenderung setuju dengan konsepnya.. Bagus buat RJPN (rencana jangka panjang negara). Btw kata popo, dapet beasiswa ke Tulsa ya? selamat yaa…. Doakan bisa nyusul kapan2 🙂

      • Msh mending kamu pengen ke Colorado dapetnya Tulsa. Kalo aku pengennya ke NTNU dapetnya ITB deui hehee…. Aku lagi mau thesis skrg, ada ide topik ga? lieur uey..

  6. “A leader in well testing and early production facilities for the oil & gas industry”

    As a group company with world-class capabilities in well testing and fluid, our top priority is to offer the best service for business-based energy and resources in Indonesia. Dwipa Group was established as a company providing Non Destructive Testing for the oil and gas industry. We believe that through commitment, determination and passion for growth, opportunities are endless.

Tinggalkan Balasan ke jaka Batalkan balasan